BAB I
P E N D A H
U L U A N
1.
Latar
Belakang Masalah
Bank adalah
bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Bahkan pada era
globalisasi seperti sekarang ini, bank telah memainkan peran yang sangat
penting dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran internasional. Dengan
demikian, setiap bank memikul tanggung jawab publik untuk tetap menjaga
stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran dimaksud.
`Salah satu
topik kontroversial dalam UU Perbankan Indonesia adalah ketentuan mengenai
rahasia bank. Di satu sisi, bank sebagai pihak yang menyimpan dana dari
nasabahnya dituntut untuk menjaga kepercayaan nasbahnya tersebut, antara lain
dengan mematuhi ketentuan mengenai rahasia bank. Sedangkan di sisi lain,
ketentuan rahasia bank perlu dilonggarkan demi proses penegakkan hukum yang
lebih baik untuk kepentingan banyak orang.
`Masih segar
dalam ingatan kita kasus Bank Century yang amat sensasional, sedemikian
sehingga sebagian besar energi negara terkuras untuk menyelesaikannya. Dalam
rangka pengungkapan fakta, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pernah meminta data/keterangan tentang sejumlah besar mantan
nasabah Bank Century kepada Bank Mutiara (nama baru Bank Century setelah
diambil alih oleh pemerintah). Sayangnya, permintaan DPR ini tidak dapat
dilayani Bank Mutiara karena bank ini tidak ingin melanggar ketentuan mengenai
rahasia bank. DPR akhirnya meminta saran kepada Mahkamah Agung agar data yang
diharapkan dapat diperolehnya. Pada akhirnya, data yang diharapkan diperoleh
Pansus Angket Century melalui sebuah penetapan pengadilan.
Contoh kasus Bank Century di
atas memperlihatkan betapa sulitnya menerobos ketentuan mengenai rahasia bank.
Bank Mutiara tidak dapat dipersalahkan atas dasar tindakan non-kooperatifnya yang
tidak mau memberikan data yang diminta Pansus Angket Century, karena tindakan
itu dilakukan atas dasar kepatuhannya kepada ketentuan mengenai rahasia bank.
Padahal publik menghendaki adanya kejelasan tentang kasus Bank Century. Dengan
demikian, pihak mana yang harus dipersalahkan? Solusi apakah yang diperlukan
untuk memecahkan masalah ini dan mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian
hari?
2. Permasalahan/Contoh
Kasus
Bank
merupakan bagian integral dari sistem keuangan dan pembayaran nasional dan
internasional. Dalam rangka memaksimalkan peran bank pada sistem-sistem
tersebut, ketentuan mengenai rahasia bank perlu diatur melalui suatu produk
perundang-undangan. Ketentuan mengenai rahasia bank di Indonesia telah diatur
di dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Akan tetapi di dalam prakteknya, substansi peraturan
perundang-undangan ini tidak sepenuhnya dapat meng-cover permasalahan
terkait kerahasiaan bank. Untuk itu diperlukan adanya perubahan atas substansi
perundang-undangan yang ada untuk dapat menjawab permasalahan kerahasiaan bank
pada masa kini dan masa yang akan datang. Melalui makalah ini, penulis
bermaksud memberikan
beberapa solusi terhadap
masalah ini dengan tuntunan sejumlah pertanyaan, sebagai berikut:
a. Mengapa rahasia bank diperlukan?
b. Mengapa ruang lingkup ketentuan mengenai rahasia bank dalam
UU Perbankan Indonesia belum memadai?
c. Mengapa hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan mengenai
rahasia bank dalam UU Perbankan Indonesia pun belum memadai?
d. Langkah-langkah apakah yang diperlukan untuk mengatasi
kekurangan dalam ketentuan mengenai rahasia bank?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pentingnya
Pengaturan Terhadap Kerahasiaan Bank
Bank
merupakan bagian integral dari sistem keuangan dan pembayaran nasional dan
internasional. Terganggunya kinerja suatu bank dapat mengganggu kinerja bank
lain (domino effect), bahkan pada tingkat yang paling mencemaskan, dapat
mengganggu fungsi sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Oleh
karena itu, masyarakat amat berkepentingan untuk menjaga stabilitas dan
eksistensi sistem perbankan.
Eksistensi
suatu bank sangat dipengaruhi secara mutlak oleh tingkat kepercayaan masyarakat
(=nasbah) karena bank merupakan suatu bentuk usaha yang dijalankan atas dasar
kepercayaan (agent of trust). Masyarakat yang tidak lagi mempercayai
suatu bank dapat melarikan dananya (rush) ke bank lain, bahkan melarikan
dananya ke luar negeri, seandainya sistem perbankan di negaranya tidak lagi
dipercayainya. Oleh karena itu bank memikul kewajiban untuk menjaga kepercayaan
nasabahnya (fiduciary obligation). Beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank, antara lain: a) integritas
pengurus, b) pengetahuan dan kemampuan manajerial dan teknis pengurus dalam
bidang perbankan, c) kesehatan bank yang bersangkutan, dan d) kepatuhan bank
terhadap ketentuan kerahasiaan bank.
Ketentuan
mengenai kerahasiaan bank telah ada sejak 4000 tahun yang lalu di masa
Babylonia sebagai sebuah kelaziman sebagaimana tercantum di dalam Code of
Hamourabi. Kekaisaran Romawi Kuno juga memiliki pengaturan khusus mengenai
hubungan antara nasabah dan bank, termasuk persoalan mengenai rahasia bank.
Pada tahun 1593, terdapat ketentuan di dalam Banco Ambrosiano,
Milano-Italia, bahwa izin usaha suatu bank akan dicabut apabila melanggar
ketentuan rahasia bank. Eropa modern saat ini umumnya berpendapat bahwa praktek
dan aturan mengenai rahasia bank merupakan suatu kelaziman yang selalu melekat
pada industri perbankan.
Salah satu
kasus rahasia bank yang seringkali dijadikan sebagai leading case law di
negara-negara penganut common law system (spt. Inggris dan Amerika
Serikat), adalah kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of
England pada tahun 1929. Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya
perlindungan hukum terhadap hak nasabah bank. Bank memikul tugas untuk
merahasiakan (duty of secrecy) untuk keperluan nasabahnya. Kendatipun
demikian, Bankes L.J., salah seorang hakim yang memeriksa kasus Tournier v.
National Provincial and Union Bank of England menguraikan adanya
pengecualian terhadap duty of secrecy, yaitu: a) apabila diatur dalam
suatu undang-undang, b) apabila terdapat kepentingan umum; c) apabila
kepentingan bank memang memerlukan; dan d) apabila terdapat persetujuan
dari nasabah.
Sifat
mengikat ketentuan rahasia bank pada negara-negara yang memiliki ketentuan
tentang rahasia bank berbeda satu dengan yang lainnya. Ada sejumlah negara yang
menganggap ketentuan rahasia bank sebagai persoalan perdata yang lahir
dari hubungan kontraktual antara bank dan nasabahnya (misalnya Belgia,
Australia, Austria, Amerika Serikat, dan Kanada). Dan ada pula negara-negara
yang menganggap rahasia bank sebagai pelanggaran pidana (misalnya Indonesia,
Denmark, Finlandia, Yunani, Israel, dan Luxembourg). Jika rahasia bank dianggap
sebagai persoalan perdata, maka nasabah yang dirugikan hanya dapat menggugat
bank dengan alasan cidera janji atau perbuatan melawan hukum. Sedangkan jika
ketentuan rahasia bank dianggap sebagai persoalan pidana, maka pelanggaran atas
ketentuan ini akan dikenakan sanksi pidana, baik berupa hukuman badan atau
denda.
Peningkatan
angka kejahatan di bidang keuangan (misalnya money laundering) yang
berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi suatu bangsa, khususnya stabilitas
moneter, menuntut dilakukannya pelonggaran terhadap kententuan rahasia bank.
Dalam hal ini, apabila kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat umum harus
didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank
untuk merahasiakan identitas nasabahnya dapat dikesampingkan. Akan tetapi harus
diperhatikan pula bahwa kentetuan rahasia bank tidak semestinya diperlonggar
sedemikian rupa sehingga identitas nasabah suatu bank “dibocorkan” dengan
alasan kepentingan umum. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank dapat
berakibat pada tersendatnya pembangunan nasional karena dana masyarakat di bank
tidak cukup untuk membiayai kegiatan dimaksud.
2.
Ruang
Lingkup Ketentuan Rahasia Bank dan Permasalahannya
a.
Ruang Lingkup Rahasia Bank
Lingkup rahasia
bank merupakan suatu bagian yang penting dari ketentuan rahasia bank. Persoalan
ini terkait erat dengan substansi ketentuan rahasia bank, yaitu mengenai
hal-hal yang perlu dirahasiakan. Berikut ini adalah beberapa legal issue
terkait ruang lingkup ketentuan rahasia bank, antara lain: apakah ketentuan
rahasia bank hanya terkait dengan passiva bank saja (=dana nasabah yang
disimpan di bank), atau juga terkait dengan aktiva bank (=kredit yang diberikan
bank kepada nasabahnya)? Apakah rahasia bank juga mencakup pihak-pihak yang
hanya menggunakan jasa bank untuk sementara waktu (walk-in customer)?
Apakah rahasia bank hanya terkait dengan “keadaan keuangan” nasabah, atau juga
“identitas” nasabah.
Terhadap sejumlah pertanyaan di atas,
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. menyatakan bahwa lingkup rahasia bank
sebaiknya meliputi hal-hal, sebagai berikut:
a) sisi liabilities/pasiva bank saja.
Sisi asset/aktiva bank tidak perlu dirahasiakan.
b) keadaan keuangan nasabah bukan
penyimpan dana yang menggunakan jasa bank sesaat (walk-in customer),
yang jasa bank itu menimbulkan kewajiban bagi bank untuk membayarkan dana
kepada pihak tersebut atau pihak yang ditunjuk oleh yang bersangkutan (antara
lain berupa pengiriman uang) yang dana itu berasal dari setoran nasabah.
c) identitas nasabah.
b.
Kewajiban Merahasiakan bagi Pegawai Bank
Menurut UU
Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 47 ayat 2, pihak-pihak yang berkewajiban
untuk memegang teguh ketentuan rahasia bank adalah: a) anggota dewan komisaris
bank, b) anggota direksi bank, c) pegawai bank, dan d) pihak-pihak terafiliasi
lainnya. Pada bagian penjelasan dari pasal ini, yang dimaksudkan sebagai
pegawai bank adalah “semua pejabat dan karyawan bank”. Dengan demikian,
siapa pun yang bekerja sebagai pegawai bank, sekalipun tidak memiliki akses
terhadap data yang dirahasiakan (menyangkut nasabah penyimpan dan simpanannya),
tetap wajib memegang teguh ketentuan mengenai rahasia bank. Pasal ini agak
berlebihan, karena juru ketik di urusan logistik, cleaning service,
sopir, dan satpam yang bekerja pada bank, terhitung sebagai pihak yang terkena
ketentuan rahasia bank.
c.
Kewajiban Merahasiakan bagi Mantan Pegawai Bank
Seorang
pegawai bank tidak selamanya menjadi pegawai pada bank bersangkutan. Yang
bersangkutan a) akan menjalani masa pensiun bila waktunya tiba, b) berhenti
akan kemauan sendiri, dan c) diberhentikan oleh bank yang mempekerjakannya.
Dalam hal seseorang telah menjadi “mantan pegawai bank”, apakah ia harus
memegang teguh rahasia bank sebagaimana ketika ia masih aktif bekerja sebagai
pegawai bank?
UU Perbankan Indonesia belum
mengatur tentang kewajiban merahasiakan bagi mantan pegawai bank. Oleh karena,
di satu sisi rahasia bank perlu diatur, sedangkan di sisi lain, ketentuan
rahasia bank belum mencakup mantan pegawai bank, maka seyogyanya perubahan
dalam hal ini perlu dilakukan. UU Perbankan harus mengatur bahwa kerahasiaan
bank juga wajib dipegang teguh oleh mantan pegawai bank untuk suatu jangka
waktu tertentu (mis. untuk jangka waktu sepuluh tahun) sejak ia tidak lagi
bekerja pada bank bersangkutan.
d.
Kewajiban Merahasiakan bagi Bank Terhadap Mantan Nasabahnya
Dalam
praktek perbankan sehari-hari, seorang nasabah dapat berganti atau berpindah
dari bank yang satu ke bank yang lain, atau menjadi nasabah pada beberapa bank
pada waktu yang bersamaan. Berhadapan dengan fakta seperti ini, apakah bank
masih terikat kewajiban merahasiakan dalam hal seorang nasabah tidak lagi
menjadi nasabah pada bank tersebut? Persoalan ini ternyata tidak diatur di
dalam UU Perbankan. Dengan demikian, seyogyanya perlu diatur di dalam UU
Perbankan bahwa bank masih terikat kewajiban merahasiakan keterangan mantan
nasabahnya selama kurun waktu tertentu (mis. lima tahun).
e.
Kewajiban Merahasiakan bagi Bank yang Telah Dicabut izin Usahanya
Menurut
pasal 37 ayat 2 Undang-undang Perbankan, Bank Indonesia berwenang mencabut izin
usaha suatu bank. Dalam hal izin usaha suatu bank telah dicabut oleh BI, apakah
pegawai bank tersebut masih terikat dengan ketentuan rahasia bank? Persoalan
ini berhubungan dengan persepsi yuridis, yaitu apakah suatu bank yang telah
dicabut izin usahanya oleh BI, secara yuridis masih dikategorikan sebagai bank
atau tidak. Jika bank yang telah dicabut izin usahanya tersebut secara yuridis
masih dikategorikan sebagai bank, maka ketentuan rahasia bank masih berlaku
bagi bank tersebut; jika secara yuridis tidak dikategorikan sebagai bank, maka
ketentuan rahasia bank tidak berlaku atasnya. Supaya tidak masuk ke dalam
perdebatan hukum yang lebih jauh, maka sudah seharusnya hal ini diatur
secara tegas di dalam Undang-undang Perbankan.
Permasalahan
hukum yang hampir sama terjadi juga pada bank dalam likuidasi. Likuidasi suatu
bank dapat terjadi karena dua hal:
a) karena masa berlakunya
perusahaan telah berakhir(sebagaimana diatur di dalam anggaran dasar perusahaan
tersebut.
b) karena diputus pailit oleh pengadilan. Bagi
bank yang diputus pailit, padahal izin usahanya tidak dicabut oleh BI,
ketentuan rahasia bank masih berlaku atasnya. Namun jika suatu bank dibubarkan
oleh para pemegang sahamnya melalui sebuah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
kententuan rahasia bank masih berlaku selama proses likuidasinya belum selesai.
Demi kepastian hukum, UU Perbankan harus secara tegas mengatur tentang
permasalahan ini.
3. Ketentuan Pengecualian Rahasia Bank dan Permasalahannya
a.
Tujuh Ketentuan Pengecualian Menurut Undang-undang Perbankan
UU Perbankan
Indonesia mengatur tentang 7 (tujuh) hal yang dapat mengecualikan ketentuan
rahasia bank. Tujuh pengecualian tersebut diatur di dalam pasal 41, pasal 41A,
pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A, yaitu:
a.` Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian
kepada pejabat pajak berdasarkan perintah pimpinan Bank Indonesia dan Menteri
Keuangan (pasal 41).
b. Untuk urusan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan
kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara
dapat diberikan pengecualian kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin pimpinan Bank Indonesia (pasal
41A).
c. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, dapat
diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa, dan hakim atas izin pimpinan Bank
Indonesia (pasal 43).
d. Untuk perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat
diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari pimpinan Bank Indonesia
(pasal 43).
e. Dalam rangka tukar menukar informasi di antara bank kepada
bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari
pimpinan Bank Indonesia (pasal 44).
f. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari nasabah
penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh
izin pimpinan Bank Indonesia (pasal 44A ayat 1).
g. Ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dalam hal nasabah
penyimpan telah meninggal dunia (pasal 44A ayat 2).
Ketentuan-ketentuan
pengecualian sebagaimana diuraikan di atas merupakan ketentuan-ketentuan yang
sangat limitatif. Berpatok pada ketentuan ini, maka jelaslah bahwa anggota
Pansus Angket Bank Century (sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu) “tidak
dapat” memperoleh data tentang beberapa mantan nasabah Bank Century sebagaimana
yang diharapkannya. Tidak hanya itu, lembaga-lembaga negara lainnya yang
menjalankan tugasnya demi kepentingan umum (kecuali lembaga-lembaga yang telah
dikecualikan), sejauh ia membutuhkan keterangan tentang nasabah penyimpan dan
simpanannya pada suatu bank, tidak dapat memperoleh data yang diharapkan dengan
dalil apa pun.
b. Rahasia Bank dalam Perkara Perdata antara Bank dan Pihak
Ketiga Bukan Nasabah yang Menyangkut Simpanan Nasabah
Dalam
sejumlah kasus, sebuah bank tidak hanya bersengketa dengan nasabahnya, tetapi
juga bersengketa dengan pihak ketiga yang bukan nasabahnya. Kasus ini memuat
dua kemungkinan: a) pihak ketiga menggugat nasabah bank sebagai tergugat I dan
bank sebagai tergugat II, dan b) pihak ketiga telah menggugat nasabah bank dan
memohon kepada pengadilan untuk melakukan sita jaminan, termasuk pemblokiran
simpanan nasabah bank. Berhadapan dengan kasus pertama, isu hukumnya adalah
bank tidak dapat membuka rahasia nasabahnya untuk membela dirinya terhadap
pihak ketiga, sekalipun dengan izin pimpinan Bank Indonesia, karena UU
Perbankan tidak mengaturnya. Satu-satunya jalan adalah dengan meminta izin dari
nasabahnya, tetapi persoalan ini akan menjadi rumit manakala nasabah bank tidak
mau memberikan izin yang dimohonkan. Sedangkan pada kasus kedua, bank tidak
dapat mengabulkan permohonan peletakkan sita jaminan oleh juru sita pengadilan,
karena dengan melakukan hal demikian maka bank telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan rahasia bank.
c.
Rahasia Bank Terhadap Hakim dalam Perkara Pidana
BAB
III
METODOLOGI
Masalah
cyber crime dalam dunia perbankan kini kembali menjadi pusat perhatian.
Kejahatan dunia maya (Inggris : cyber crime) adalah
istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan
komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke
dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online,
pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan
identitas, pornografi anak, dan lain-lain. Sebab muncul pola-pola baru
dari cyber crime perbankan yang bermotif ekonomi. Jika dulu
pelakunya mengincar barang-barang mahal dan langka, kini berupa uang. Meski
sudah banyak pelakucyber crime perbankan yang ditangkap dan
dijatuhi hukuman penjara, nyatanya praktik kejahatan itu masih marak dengan
cara yang beraneka. Kejahatan duniamaya sudah meresahkan masyarakat, termasuk
dunia perbankan. Kejahatan dunia maya di Indonesia sudah sangat terkenal. Terus
berkembangnya teknologi informasi (TI) juga membuat praktik cyber crime,
terutama carding, kian canggih.
Carding adalah
bentuk cyber crime yang paling kerap terjadi. Maka, tak heran jikadalam kasuscredit
card fraud, Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara kedua tertinggi
didunia setelah Ukraina. Saat ini terjadi pergeseran pola carding. Kalau
dulu mereka lebihmengincar barang-barang yang mahal dan langka, kini uang yang
dicari. Misalnya, kini marak carding untuk perdagangan saham
secara online. Pelaku carding dari Indonesia
berfungsi sebagai pihak yang membobol kartu kredit, dan hasilnya digunakan oleh
mitranya di luar negeri untuk membeli saham secara online. Keuntungan
transaksi itu kemudian di transfer ke sebuah rekening penampungan, yang
kemudian dibagi lagi ke rekening anggota sindikat.
Setelah
isu carding mereda, kini muncul bentuk kejahatan baru, yakni
pembobolan uang nasabah melalui ATM atau cracking sistem mesin
ATM untuk membobol dananya. Kepercayaan terhadap perbankan tidak hanya terkait
dengan keamanan simpanan nasabah dibank tersebut, tetapi juga terhadap keamanan
sistem dan prosedur, pemanfaatan teknologiserta sumber daya manusia dalam
memberikan pelayanan kepada nasabah. Salah satu aspek risiko yang hingga kini
belum banyak diantisipasi adalah kegagalan transaksi perbankan melalui
teknologi informasi (technology fraud) yang dalam risiko
perbankan masuk kategori sebagai risiko operasional.
Awas,
Penipuan via Chatroom !!!
Suatu
ketika, saya ditanya oleh seorang rekan saya di Asian Wall Street
Journal, “apakah benar kini tingkat aktifitas carding di Indonesia sudah
menurun?”. Carding adalah aktifitas pembelian barang di Internet
menggunakan kartu kredit bajakan. Dia bertanya lantaran informasi dan data yang
dia terima memang seperti itu. Saya sempat ragu menjawabnya, sebab untuk tahun
lalu, Indonesia berada pada posisi ke-2 teratas sebagai negara asal carder
(pelaku carding) terbanyak di dunia, setelah Ukraina. Posisi tersebut merupakan
hasil riset dari Clear Commerce Inc, sebuah perusahaan
teknologi informasi (TI) yang berbasis di Texas, AS.
Sejurus
kemudian saya mulai mengingat-ingat modus operandi para carder dan
aktifitas dichatroom pada umumnya. Lalu saya jawab ke rekan saya
tersebut, “kalau berdasarkan data statistik memang ada penurunan
aktifitas carding, tetapi tren tersebut lantaran adanya pergeseran modus
operandi,”. Saat itu, saya sendiri tidak terlalu yakin, ke arah
mana pergeseran tersebut. Saya hanya yakin bahwa aktifitas tindak kriminal
di chatroom itu seolah-olah menganut hukum kekekalan energi,
yaitu tidak akan hilang tetapi hanya berubah wujud.
Sampai
kemudian saya bersama dengan tim ICT Watch yang lain melakukan
observasi lapangan ke beberapa chatroom carder serta menganalisa arsip e-mail dan
log chatroom yang telah lama. Hasil observasi yang dilakukan
sepanjang Maret 2003 tersebut menunjukkan kenyataan bahwa memang ada pergeseran
modus operandi yang cukup signifikan dalam aktifitas ilegal di chatroom,
khususnya dalam komunitas carder.
Observasi
Lapangan
Pada
awalnya, chatroom memang sekedar sebuah media bagi para carder untuk
bertukar data kartu kredit bajakan dan berjual-beli barang hasil carding. Tetapi,
setelah banyak merchant diInternet yang enggan mengirimkan paket
mereka ke Indonesia, maka banyak carder yang mulai kesulitan melakukan carding.
Karena “kepepet” dan terbiasa mendapatkan uang secara mudah,
kemudian mereka menggeser modus operandi mereka di chatroom yaitu dengan
melakukan satu jenis penipuan yang belum banyak terungkap kasusnya di
Indonesia. Mereka “seolah-olah” ingin menjual atau melepas
barang-barang elektronik, semisal telepon selular (ponsel) ataupun notebook,
yang didapatnya dari hasil melakukan carding.
Para carder atau
penjual tersebut akan menawarkan dagangannya melalui chatroom dengan
keunggulan tertentu semisal “the package not even opened” (barang
baru dan dus belum pernah dibuka) serta “cool prizes” (harga
sangat murah dan bisa ditawar). Contohnya, sebuah notebook merek Sony
VAIO yang harga aslinya mencapai Rp 15 juta, ditawarkan hanya senilai
Rp 4 juta hingga Rp 5 juta saja. Kemudian ponsel Nokia seri
terbaru yang harga aslinya masih Rp 6 juta, ditawarkan senilai Rp 1 juta hingga
Rp 2 juta saja.
Aksi
promosi para penjual tersebut tidak pernah dilakukan di chatroom umum.
Para penjual, termasuk para penipu, melakukan aksinya di chatroom khusus
para carder. Ada banyak sekalichatroom carder, dengan
puluhan hingga ratusan pengunjung perharinya. Di dalam chatroom tersebut,
akan sangat mudah kita dapatkan beratus nomor kartu kredit bajakan, lengkap
dengan data pemilik serta fasilitas pengecekan 3 (tiga) digit rahasia CVV2 yang
hanya terdapat di bagian belakang kartu kredit dan tidak timbul (embossed).
Tentu
saja dengan keunggulan yang ditawarkan oleh penjual tersebut, para
pengunjung chatroomakan mudah tergiur. Kemudian pengunjung yang
tertarik, atau tepatnya calon pembeli, akan melakukan private message ke nickname penjual
tersebut untuk melakukan negosiasi harga. Jika telah tercapai kesepakatan, maka
si penjual tersebut akan meminta kepada si calon pembeli/korban untuk
mengirimkan sejumlah uang sebagai tanda jadi atau sebagai uang muka atau
sebagai ongkos kirim. Besarnya relatif, dari sekitar Rp 500 ribu (US$
50) hingga Rp 1 juta (US$ 100).
Jika
calon pembeli sepakat, maka penjual akan bertukar alamat e-mail dan MSN
Messanger atauYahoo Messanger dengan calon pembeli, guna
kontak lebih lanjut dan untuk bertukar alamat domisili masing-masing. Gunanya
alamat domisili tersebut adalah untuk alamat pengiriman uang dan alamat
pengiriman barang. Selanjutnya, penjual akan meminta kepada calon pembeli untuk
segera menghubungi dirinya melalui e-mail apabila uangnya
telah dikirimkan, dengan tujuan agar dirinya bisa segera mengirimkan barang
yang dipesan.
Celakanya,
setelah uang tersebut dikirimkan, barang yang dinanti tak kunjung datang. Maka
si calon pembeli tersebut pun menjadi korban penipuan si penjual tersebut.
Jika
penipuan telah terjadi, posisi korban sangatlah sulit. Korban tidak dapat atau
enggan melaporkan kasus penipuan tersebut kepada aparat penegak hukum karena
transaksi yang dilakukannya adalah transaksi atas barang yang ilegal, sehingga
tidak dapat dilindungi oleh hukum. Selain itu korban akan kesulitan
mengidentifikasi penipunya, karena transaksi yang dilakukannya melalui Internet dan
tanpa bukti otentik hitam di atas putih. Faktor lainnya adalah belum banyaknya
pihak aparat penegak hukum yang mengetahui seluk-beluk Internet, termasuk
modus operandi penipuan melalui chatroom tersebut.
Untuk
lebih meyakinkan dan membuktikan analisa di atas, dalam satu kesempatan,
tepatnya pada minggu ke-4 Maret 2003, tim ICT Watch sepakat
untuk benar-benar melakukan negosiasi dan transaksi dengan salah seorang
penjual di chatroom #thacc pada
server DALnet. Penjual yang menggunakan nickname “tuyulcarder”
tersebut menawarkan sebuah notebook Sony dan sebuah ponselNokia.
Melalui private message penjual tersebut mengaku dirinya saat
itu sedang berada di kota Salatiga. Padahal berdasarkan analisa tim ICT
Watch pada log chatroom, penjual tersebut sebenarnya
menggunakan akses Internet di warnet Intersat di
bilangan jalan Adisucipto - Jogja.
Meskipun
demikian, tim ICT Watch terus melakukan negosiasi
melalui chatting dan dilanjutkan dengan menghubungi ponselnya.
Kemudian penjual tersebut menyatakan bahwa dirinya sendiri yang akan
mengantarkan barang pesanan tersebut ke Jakarta pada keesokan harinya. Kemudian
dia meminta untuk ditransfer sejumlah dana ke rekeningny di Bank BCA sebagai
uang muka. Maka tim ICT Watch melakukan transfer sejumlah dana
melalui fasilitas KlikBCA ke rekeningnya di Bank BCA dengan 3
digit awal nomor rekening tersebut adalah “456”, dengan
inisial pemilik rekening tersebut adalah “BMEH”.
Akhirnya
perkiraan tim ICT Watch terbukti, lantaran setelah dana
tersebut ditransfer, barang pesanan tak kunjung diantarkan walaupun telah
ditunggu hingga beberapa hari kemudian. Ponsel milik penjual tersebut pun
menjadi tidak dapat dihubungi sama sekali.
Lima
Fakta Menarik :
Ada 5 (lima)
fakta menarik lainnya yang berhasil ditemukan tim ICT Watch saat
melakukan observasi langsung ke beberapa chatroom carder di
server DALnet, yaitu:
1.
Beberapa penjual akan meminta
calon pembeli untuk melakukan transfer ke sebuah alamat tujuan di negara
Rumania, Bulgaria bahkan India. Transfer tersebut selalu diminta melaluiWestern
Union (WU). Para penjual akan mencoba meyakinkan calon pembeli/korban
bahwa dirinya tidak akan dapat mengambil uang yang ditransfer melalui WU tanpa
adanya Money Transfer Control Number (MTCN) yang dipegang oleh
pengirim uang. Padahal, menurut informasi yang diperoleh ICT Watch,
tidak semua negara mengharuskan para pengambil uang diWU harus
menyebutkan MTCN.
2.
Selain itu, para penjual umumnya
menggunakan bahasa Inggris. Walaupun demikian, dari hasil analisa log
chatroom, terdapat sejumlah kejanggalan pada percakapan yang terjadi.
Misalnya, ada kesan “copy-paste” terhadap jawaban dari
penjual, penjual selalu terburu-buru ingin menyelesaikan negosiasi dan
terkadang ada aksen-aksen bahasa Indonesia yang terselip ditengah percakapan.
3.
Yang menarik adalah keberadaan
penjual yang menggunakan nickname asing, berbahasa Inggris serta menyebutkan
alamat tujuan pengiriman uang ke Rumania, tetapi alamat Internet
Protocol (IP) yang digunakannya adalah alamat IP milik Internet
Service Provider (ISP)Centrin di Indonesia yaitu 202.146.226.xxx. Ada
pula seorang penjual, yang lagi-lagi berbahasa Inggris, menyatakan dirinya
berdomisili di Malaysia, tetapi beralamat IP milik kampus ITB - Bandung.
4.
Kemudian ada indikasi pula bahwa
modus operandi penipuan melalui chatroom ini telah menggunakan
konsep “agen” ataupun “sindikat”. Pasalnya,
ditemukan fakta bahwa terdapat 2 (dua) atau lebih penjual yang berbeda,
dibuktikan dengan IP yang berbeda serta secara terpisah melakukan negosiasi
dengan ICT Watch dalam waktu yang bersamaan, menyebutkan
sebuah alamat pentransferan dana di Rumania yang sama persis. Anehnya lagi,
salah seorang dari mereka menggunakan IP Centrin.
5.
Fakta lain adalah kini ada
semacam “keberanian” dari para penjual untuk bertransaksi,
khususnya pada hal pentransferan dana yang sudah mulai banyak menggunakan bank
dalam negeri semisal BCA, Lippo Bank ataupun Bank Mandiri. Meskipun
demikian, para penjual tersebut tetap berusaha untuk mengaburkan identitas jati
dirinya, dengan melakukan IP-spoofing dan/ atau menggunakan
warung internet (warnet) saat melakukan aksinya.
Berdasarkan
pada temuan fakta di lapangan tersebut, maka memang benar bahwa aktifitascarding secara
kuantitatif mengalami penurunan. Penurunan tersebut tidak secara otomatis
menunjukkan keberhasilan dari pihak yang berwenang dalam mengatasi carding,
tetapi lebih disebabkan karena adanya pergeseran modus operandi kejahatan
melalui chatroom dan enggannya korban melapor ke aparat
penegak hukum.
BAB
IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa:
a. Terdapat
beragam pemahaman mengenai cybercrime. Namun bila dilihat dari asal katanya,
cybercrime terdiri dari dua kata, yakni “cyber” dan “crime”. Kata “cyber”
merupakan singkatan dari “cyberspace”, yang berasal dari kata “cybernetics” dan
“space” Istilah cyberspace muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam novel
William Gibson yang berjudul Neuromancer.
b. Karakteristik
kejahatan siber adalah:
Perbuatan
anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari pemanfaatan teknologi
informasi tanpa batas khususnya di dunia perbankan.
Memanfaatkan
rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan
kredibilitas dari sebuah informasi. Salah satu rekayasa teknologi yang
dimanfaatkan adalah internet.
Perbuatan
tersebut merugikan dan menmbulkan ketidaktenangan di masyarakat, serta
bertentangan dengan moral masyarakat
Perbuatan
tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan lebih dari satu
yurisdiksi hokum di dunia perbankan
DAFTAR
PUSTAKA
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Cyber
crime, Cet. 9. Jakarta:Pancoran
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai kasus
perbankan dalam bidang IT Cet. 9.Jakarta: Pantjoran Tujuh.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme.
Jakarta: Rineka Cipta
Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan,
Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005, hal. 3.
http://rakaraki.blogspot.com
http://rakaraki.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar