Minggu, 25 November 2012

TUGAS 4 .IT, Perbankan Dan Permasalahannya.


BAB I
P E N D A H U L U A N

1.                  Latar Belakang Masalah
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Bahkan pada era globalisasi seperti sekarang ini, bank telah memainkan peran yang sangat penting dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran internasional. Dengan demikian, setiap bank memikul tanggung jawab publik untuk tetap menjaga stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran dimaksud.
`Salah satu topik kontroversial dalam UU Perbankan Indonesia adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Di satu sisi, bank sebagai pihak yang menyimpan dana dari nasabahnya dituntut untuk menjaga kepercayaan nasbahnya tersebut, antara lain dengan mematuhi ketentuan mengenai rahasia bank. Sedangkan  di sisi lain, ketentuan rahasia bank perlu dilonggarkan demi proses penegakkan hukum yang lebih baik untuk kepentingan banyak orang.
`Masih segar dalam ingatan kita kasus Bank Century yang amat sensasional, sedemikian sehingga sebagian besar energi negara terkuras untuk menyelesaikannya. Dalam rangka pengungkapan fakta, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pernah meminta data/keterangan tentang sejumlah besar mantan nasabah Bank Century kepada Bank Mutiara (nama baru Bank Century setelah diambil alih oleh pemerintah). Sayangnya, permintaan DPR ini tidak dapat dilayani Bank Mutiara karena bank ini tidak ingin melanggar ketentuan mengenai rahasia bank. DPR akhirnya meminta saran kepada Mahkamah Agung agar data yang diharapkan dapat diperolehnya. Pada akhirnya, data yang diharapkan diperoleh Pansus Angket Century melalui sebuah penetapan pengadilan.
Contoh kasus Bank Century di atas memperlihatkan betapa sulitnya menerobos ketentuan mengenai rahasia bank. Bank Mutiara tidak dapat dipersalahkan atas dasar tindakan non-kooperatifnya yang tidak mau memberikan data yang diminta Pansus Angket Century, karena tindakan itu dilakukan atas dasar kepatuhannya kepada ketentuan mengenai rahasia bank. Padahal publik menghendaki adanya kejelasan tentang kasus Bank Century. Dengan demikian, pihak mana yang harus dipersalahkan? Solusi apakah yang diperlukan untuk memecahkan masalah ini dan mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari?
2.         Permasalahan/Contoh Kasus
Bank merupakan bagian integral dari sistem keuangan dan pembayaran nasional dan internasional. Dalam rangka memaksimalkan peran bank pada sistem-sistem tersebut, ketentuan mengenai rahasia bank perlu diatur melalui suatu produk perundang-undangan. Ketentuan mengenai rahasia bank di Indonesia telah diatur di dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Akan tetapi di dalam prakteknya, substansi peraturan perundang-undangan ini tidak sepenuhnya dapat meng-cover permasalahan terkait kerahasiaan bank. Untuk itu diperlukan adanya perubahan atas substansi perundang-undangan yang ada untuk dapat menjawab permasalahan kerahasiaan bank pada masa kini dan masa yang akan datang. Melalui makalah ini, penulis bermaksud memberikan
beberapa solusi terhadap masalah ini dengan tuntunan sejumlah pertanyaan, sebagai berikut:
a.         Mengapa rahasia bank diperlukan?
b.         Mengapa ruang lingkup ketentuan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Indonesia belum memadai?
c.         Mengapa hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Indonesia pun belum memadai?
d.         Langkah-langkah apakah yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan dalam ketentuan mengenai rahasia bank?

BAB II
PEMBAHASAN

1.            Pentingnya Pengaturan Terhadap Kerahasiaan Bank

Bank merupakan bagian integral dari sistem keuangan dan pembayaran nasional dan internasional. Terganggunya kinerja suatu bank dapat mengganggu kinerja bank lain (domino effect), bahkan pada tingkat yang paling mencemaskan, dapat mengganggu fungsi sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Oleh karena itu, masyarakat amat berkepentingan untuk menjaga stabilitas dan eksistensi sistem perbankan.
Eksistensi suatu bank sangat dipengaruhi secara mutlak oleh tingkat kepercayaan masyarakat (=nasbah) karena bank merupakan suatu bentuk usaha yang dijalankan atas dasar kepercayaan (agent of trust). Masyarakat yang tidak lagi mempercayai suatu bank dapat melarikan dananya (rush) ke bank lain, bahkan melarikan dananya ke luar negeri, seandainya sistem perbankan di negaranya tidak lagi dipercayainya. Oleh karena itu bank memikul kewajiban untuk menjaga kepercayaan nasabahnya (fiduciary obligation). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank, antara lain: a) integritas pengurus, b) pengetahuan dan kemampuan manajerial dan teknis pengurus dalam bidang perbankan, c) kesehatan bank yang bersangkutan, dan d) kepatuhan bank terhadap ketentuan kerahasiaan bank.
Ketentuan mengenai kerahasiaan bank telah ada sejak 4000 tahun yang lalu di masa Babylonia sebagai sebuah kelaziman sebagaimana tercantum di dalam Code of Hamourabi. Kekaisaran Romawi Kuno juga memiliki pengaturan khusus mengenai hubungan antara nasabah dan bank, termasuk persoalan mengenai rahasia bank. Pada tahun 1593, terdapat ketentuan di dalam Banco Ambrosiano, Milano-Italia, bahwa izin usaha suatu bank akan dicabut apabila melanggar ketentuan rahasia bank. Eropa modern saat ini umumnya berpendapat bahwa praktek dan aturan mengenai rahasia bank merupakan suatu kelaziman yang selalu melekat pada industri perbankan.
Salah satu kasus rahasia bank yang seringkali dijadikan sebagai leading case law di negara-negara penganut common law system (spt. Inggris dan Amerika Serikat), adalah kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England pada tahun 1929. Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya perlindungan hukum terhadap hak nasabah bank. Bank memikul tugas untuk merahasiakan (duty of secrecy) untuk keperluan nasabahnya. Kendatipun demikian, Bankes L.J., salah seorang hakim yang memeriksa kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England menguraikan adanya pengecualian terhadap duty of secrecy, yaitu: a) apabila diatur dalam suatu undang-undang, b) apabila terdapat kepentingan umum; c) apabila kepentingan bank memang memerlukan; dan d) apabila terdapat persetujuan  dari nasabah.
Sifat mengikat ketentuan rahasia bank pada negara-negara yang memiliki ketentuan tentang rahasia bank berbeda satu dengan yang lainnya. Ada sejumlah negara yang menganggap ketentuan  rahasia bank sebagai persoalan perdata yang lahir dari hubungan kontraktual antara bank dan nasabahnya (misalnya Belgia, Australia, Austria, Amerika Serikat, dan Kanada). Dan ada pula negara-negara yang menganggap rahasia bank sebagai pelanggaran pidana (misalnya Indonesia, Denmark, Finlandia, Yunani, Israel, dan Luxembourg). Jika rahasia bank dianggap sebagai persoalan perdata, maka nasabah yang dirugikan hanya dapat menggugat bank dengan alasan cidera janji atau perbuatan melawan hukum. Sedangkan jika ketentuan rahasia bank dianggap sebagai persoalan pidana, maka pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi pidana, baik berupa hukuman badan atau denda.
Peningkatan angka kejahatan di bidang keuangan (misalnya money laundering) yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi suatu bangsa, khususnya stabilitas moneter, menuntut dilakukannya pelonggaran terhadap kententuan rahasia bank. Dalam hal ini, apabila kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat umum harus didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank untuk merahasiakan identitas nasabahnya dapat dikesampingkan. Akan tetapi harus diperhatikan pula bahwa kentetuan rahasia bank tidak semestinya diperlonggar sedemikian rupa sehingga identitas nasabah suatu bank “dibocorkan” dengan alasan kepentingan umum. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank dapat berakibat pada tersendatnya pembangunan nasional karena dana masyarakat di bank tidak cukup untuk membiayai kegiatan dimaksud.

2.      Ruang Lingkup Ketentuan Rahasia Bank dan Permasalahannya

a.       Ruang Lingkup Rahasia Bank
Lingkup rahasia bank merupakan suatu bagian yang penting dari ketentuan rahasia bank. Persoalan ini terkait erat dengan substansi ketentuan rahasia bank, yaitu mengenai hal-hal yang perlu dirahasiakan. Berikut ini adalah beberapa legal issue terkait ruang lingkup ketentuan rahasia bank, antara lain: apakah ketentuan rahasia bank hanya terkait dengan passiva bank  saja (=dana nasabah yang disimpan di bank), atau juga terkait dengan aktiva bank (=kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya)? Apakah rahasia bank juga mencakup pihak-pihak yang hanya menggunakan jasa bank untuk sementara waktu (walk-in customer)? Apakah rahasia bank hanya terkait dengan “keadaan keuangan” nasabah, atau juga “identitas” nasabah.
            Terhadap sejumlah pertanyaan di atas, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. menyatakan bahwa lingkup rahasia bank sebaiknya meliputi hal-hal, sebagai berikut:
 a) sisi liabilities/pasiva bank saja. Sisi asset/aktiva bank tidak perlu dirahasiakan.
 b)  keadaan keuangan nasabah bukan penyimpan dana yang menggunakan jasa bank sesaat (walk-in customer), yang jasa bank itu menimbulkan kewajiban bagi bank untuk membayarkan dana kepada pihak tersebut atau pihak yang ditunjuk oleh yang bersangkutan (antara lain berupa pengiriman uang) yang dana itu berasal dari setoran nasabah.
 c)  identitas nasabah.

b.      Kewajiban Merahasiakan bagi Pegawai Bank
Menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 47 ayat 2, pihak-pihak yang berkewajiban untuk memegang teguh ketentuan rahasia bank adalah: a) anggota dewan komisaris bank, b) anggota direksi bank, c) pegawai bank, dan d) pihak-pihak terafiliasi lainnya. Pada bagian penjelasan dari pasal ini, yang dimaksudkan sebagai pegawai bank adalah “semua pejabat dan  karyawan bank”. Dengan demikian, siapa pun yang bekerja sebagai pegawai bank, sekalipun tidak memiliki akses terhadap data yang dirahasiakan (menyangkut nasabah penyimpan dan simpanannya), tetap wajib memegang teguh ketentuan mengenai rahasia bank. Pasal ini agak berlebihan, karena juru ketik di urusan logistik, cleaning service, sopir, dan satpam yang bekerja pada bank, terhitung sebagai pihak yang terkena ketentuan rahasia bank.


c.       Kewajiban Merahasiakan bagi Mantan Pegawai Bank
Seorang pegawai bank tidak selamanya menjadi pegawai pada bank bersangkutan. Yang bersangkutan a) akan menjalani masa pensiun bila waktunya tiba, b) berhenti akan kemauan sendiri, dan c) diberhentikan oleh bank yang mempekerjakannya. Dalam hal seseorang telah menjadi “mantan pegawai bank”, apakah ia harus memegang teguh rahasia bank sebagaimana ketika ia masih aktif bekerja sebagai pegawai bank? 
UU Perbankan Indonesia belum mengatur tentang kewajiban merahasiakan bagi mantan pegawai bank. Oleh karena, di satu sisi rahasia bank perlu diatur, sedangkan di sisi lain, ketentuan rahasia bank belum mencakup mantan pegawai bank, maka seyogyanya perubahan dalam hal ini perlu dilakukan. UU Perbankan harus mengatur bahwa kerahasiaan bank juga wajib dipegang teguh oleh mantan pegawai bank untuk suatu jangka waktu tertentu (mis. untuk jangka waktu sepuluh tahun) sejak ia tidak lagi bekerja pada bank bersangkutan.

d.      Kewajiban Merahasiakan bagi Bank Terhadap Mantan Nasabahnya
Dalam praktek perbankan sehari-hari, seorang nasabah dapat berganti atau berpindah dari bank yang satu ke bank yang lain, atau menjadi nasabah pada beberapa bank pada waktu yang bersamaan. Berhadapan dengan fakta seperti ini, apakah bank masih terikat kewajiban merahasiakan dalam hal seorang nasabah tidak lagi menjadi nasabah pada bank tersebut? Persoalan ini ternyata tidak diatur di dalam UU Perbankan. Dengan demikian, seyogyanya perlu diatur di dalam UU Perbankan bahwa bank masih terikat kewajiban merahasiakan keterangan mantan nasabahnya selama kurun waktu tertentu (mis. lima tahun).
e.       Kewajiban Merahasiakan bagi Bank yang Telah Dicabut izin Usahanya
Menurut pasal 37 ayat 2 Undang-undang Perbankan, Bank Indonesia berwenang mencabut izin usaha suatu bank. Dalam hal izin usaha suatu bank telah dicabut oleh BI, apakah pegawai bank tersebut masih terikat dengan ketentuan rahasia bank? Persoalan ini berhubungan dengan persepsi yuridis, yaitu apakah suatu bank yang telah dicabut izin usahanya oleh BI, secara yuridis masih dikategorikan sebagai bank atau tidak. Jika bank yang telah dicabut izin usahanya tersebut secara yuridis masih dikategorikan sebagai bank, maka ketentuan rahasia bank masih berlaku bagi bank tersebut; jika secara yuridis tidak dikategorikan sebagai bank, maka ketentuan rahasia bank tidak berlaku atasnya. Supaya tidak masuk ke dalam perdebatan hukum  yang lebih jauh, maka sudah seharusnya hal ini diatur secara tegas di dalam Undang-undang Perbankan.
Permasalahan hukum yang hampir sama terjadi juga pada bank dalam likuidasi. Likuidasi suatu bank dapat terjadi karena dua hal:
a) karena masa berlakunya perusahaan telah berakhir(sebagaimana diatur di dalam anggaran dasar perusahaan tersebut.
 b) karena diputus pailit oleh pengadilan. Bagi bank yang diputus pailit, padahal izin usahanya tidak dicabut oleh BI, ketentuan rahasia bank masih berlaku atasnya. Namun jika suatu bank dibubarkan oleh para pemegang sahamnya melalui sebuah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kententuan rahasia bank masih berlaku selama proses likuidasinya belum selesai. Demi kepastian hukum, UU Perbankan harus secara tegas mengatur tentang permasalahan ini.

3.         Ketentuan Pengecualian Rahasia Bank dan Permasalahannya
a.       Tujuh Ketentuan Pengecualian Menurut Undang-undang Perbankan
UU Perbankan Indonesia mengatur tentang 7 (tujuh) hal yang dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank. Tujuh pengecualian tersebut diatur di dalam pasal 41, pasal 41A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A, yaitu:

a.`        Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat pajak berdasarkan perintah pimpinan Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (pasal 41).
b.         Untuk urusan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dapat diberikan pengecualian kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin pimpinan Bank Indonesia (pasal 41A).
c.         Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, dapat diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa, dan hakim atas izin pimpinan Bank Indonesia (pasal 43).
d.         Untuk perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari pimpinan Bank Indonesia (pasal 43).
e.         Dalam rangka tukar menukar informasi di antara bank kepada bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari pimpinan Bank Indonesia (pasal 44).
f.          Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari nasabah penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin pimpinan Bank Indonesia (pasal 44A ayat 1).
g.         Ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia (pasal 44A ayat 2).

Ketentuan-ketentuan pengecualian sebagaimana diuraikan di atas merupakan ketentuan-ketentuan yang sangat limitatif. Berpatok pada ketentuan ini, maka jelaslah bahwa anggota Pansus Angket Bank Century (sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu) “tidak dapat” memperoleh data tentang beberapa mantan nasabah Bank Century sebagaimana yang diharapkannya. Tidak hanya itu, lembaga-lembaga negara lainnya yang menjalankan tugasnya demi kepentingan umum (kecuali lembaga-lembaga yang telah dikecualikan), sejauh ia membutuhkan keterangan tentang nasabah penyimpan dan simpanannya pada suatu bank, tidak dapat memperoleh data yang diharapkan dengan dalil apa pun.

b.         Rahasia Bank dalam Perkara Perdata antara Bank dan Pihak Ketiga Bukan Nasabah yang Menyangkut Simpanan Nasabah
Dalam sejumlah kasus, sebuah bank tidak hanya bersengketa dengan nasabahnya, tetapi juga bersengketa dengan pihak ketiga yang bukan nasabahnya. Kasus ini memuat dua kemungkinan: a) pihak ketiga menggugat nasabah bank sebagai tergugat I dan bank sebagai tergugat II, dan b) pihak ketiga telah menggugat nasabah bank dan memohon kepada pengadilan untuk melakukan sita jaminan, termasuk pemblokiran simpanan nasabah bank. Berhadapan dengan kasus pertama, isu hukumnya adalah bank tidak dapat membuka rahasia nasabahnya untuk membela dirinya terhadap pihak ketiga, sekalipun dengan izin pimpinan Bank Indonesia, karena UU Perbankan tidak mengaturnya. Satu-satunya jalan adalah dengan meminta izin dari nasabahnya, tetapi persoalan ini akan menjadi rumit manakala nasabah bank tidak mau memberikan izin yang dimohonkan. Sedangkan pada kasus kedua, bank tidak dapat mengabulkan permohonan peletakkan sita jaminan oleh juru sita pengadilan, karena dengan melakukan hal demikian maka bank telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank.
c.       Rahasia Bank Terhadap Hakim dalam Perkara Pidana

BAB III
METODOLOGI

Masalah cyber crime dalam dunia perbankan kini kembali menjadi pusat perhatian. Kejahatan dunia maya (Inggris : cyber crime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dan lain-lain. Sebab muncul pola-pola baru dari cyber crime perbankan yang bermotif ekonomi. Jika dulu pelakunya mengincar barang-barang mahal dan langka, kini berupa uang. Meski sudah banyak pelakucyber crime perbankan yang ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara, nyatanya praktik kejahatan itu masih marak dengan cara yang beraneka. Kejahatan duniamaya sudah meresahkan masyarakat, termasuk dunia perbankan. Kejahatan dunia maya di Indonesia sudah sangat terkenal. Terus berkembangnya teknologi informasi (TI) juga membuat praktik cyber crime, terutama carding, kian canggih.

            Carding adalah bentuk cyber crime yang paling kerap terjadi. Maka, tak heran jikadalam kasuscredit card fraud, Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara kedua tertinggi didunia setelah Ukraina. Saat ini terjadi pergeseran pola carding. Kalau dulu mereka lebihmengincar barang-barang yang mahal dan langka, kini uang yang dicari. Misalnya, kini marak carding untuk perdagangan saham secara online. Pelaku carding dari Indonesia berfungsi sebagai pihak yang membobol kartu kredit, dan hasilnya digunakan oleh mitranya di luar negeri untuk membeli saham secara online. Keuntungan transaksi itu kemudian di transfer ke sebuah rekening penampungan, yang kemudian dibagi lagi ke rekening anggota sindikat.

            Setelah isu carding mereda, kini muncul bentuk kejahatan baru, yakni pembobolan uang nasabah melalui ATM atau cracking sistem mesin ATM untuk membobol dananya. Kepercayaan terhadap perbankan tidak hanya terkait dengan keamanan simpanan nasabah dibank tersebut, tetapi juga terhadap keamanan sistem dan prosedur, pemanfaatan teknologiserta sumber daya manusia dalam memberikan pelayanan kepada nasabah. Salah satu aspek risiko yang hingga kini belum banyak diantisipasi adalah kegagalan transaksi perbankan melalui teknologi informasi (technology fraud) yang dalam risiko perbankan masuk kategori sebagai risiko operasional.

Awas, Penipuan via Chatroom !!!

            Suatu ketika, saya ditanya oleh seorang rekan saya di Asian Wall Street Journal, “apakah benar kini tingkat aktifitas carding di Indonesia sudah menurun?”. Carding  adalah aktifitas pembelian barang di Internet menggunakan kartu kredit bajakan. Dia bertanya lantaran informasi dan data yang dia terima memang seperti itu. Saya sempat ragu menjawabnya, sebab untuk tahun lalu, Indonesia berada pada posisi ke-2 teratas sebagai negara asal carder (pelaku carding) terbanyak di dunia, setelah Ukraina. Posisi tersebut merupakan hasil riset dari Clear Commerce Inc, sebuah perusahaan teknologi informasi (TI) yang berbasis di Texas, AS.

            Sejurus kemudian saya mulai mengingat-ingat modus operandi para carder dan aktifitas dichatroom pada umumnya. Lalu saya jawab ke rekan saya tersebut, “kalau berdasarkan data statistik memang ada penurunan aktifitas carding, tetapi tren tersebut lantaran adanya pergeseran modus operandi,”. Saat itu, saya sendiri tidak terlalu yakin, ke arah mana pergeseran tersebut. Saya hanya yakin bahwa aktifitas tindak kriminal di chatroom itu seolah-olah menganut hukum kekekalan energi, yaitu tidak akan hilang tetapi hanya berubah wujud.

            Sampai kemudian saya bersama dengan tim ICT Watch yang lain melakukan observasi lapangan ke beberapa chatroom carder serta menganalisa arsip e-mail dan log chatroom yang telah lama. Hasil observasi yang dilakukan sepanjang Maret 2003 tersebut menunjukkan kenyataan bahwa memang ada pergeseran modus operandi yang cukup signifikan dalam aktifitas ilegal di chatroom, khususnya dalam komunitas carder.

Observasi Lapangan
            Pada awalnya, chatroom memang sekedar sebuah media bagi para carder untuk bertukar data kartu kredit bajakan dan berjual-beli barang hasil carding. Tetapi, setelah banyak merchant diInternet yang enggan mengirimkan paket mereka ke Indonesia, maka banyak carder yang mulai kesulitan melakukan carding. Karena “kepepet” dan terbiasa mendapatkan uang secara mudah, kemudian mereka menggeser modus operandi mereka di chatroom yaitu dengan melakukan satu jenis penipuan yang belum banyak terungkap kasusnya di Indonesia. Mereka “seolah-olah” ingin menjual atau melepas barang-barang elektronik, semisal telepon selular (ponsel) ataupun notebook, yang didapatnya dari hasil melakukan carding.

Para carder atau penjual tersebut akan menawarkan dagangannya melalui chatroom dengan keunggulan tertentu semisal “the package not even opened” (barang baru dan dus belum pernah dibuka) serta “cool prizes” (harga sangat murah dan bisa ditawar). Contohnya, sebuah notebook merek Sony VAIO yang harga aslinya mencapai Rp 15 juta, ditawarkan hanya senilai Rp 4 juta hingga Rp 5 juta saja. Kemudian ponsel Nokia seri terbaru yang harga aslinya masih Rp 6 juta, ditawarkan senilai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta saja.

             Aksi promosi para penjual tersebut tidak pernah dilakukan di chatroom umum. Para penjual, termasuk para penipu, melakukan aksinya di chatroom khusus para carder. Ada banyak sekalichatroom carder, dengan puluhan hingga ratusan pengunjung perharinya. Di dalam chatroom tersebut, akan sangat mudah kita dapatkan beratus nomor kartu kredit bajakan, lengkap dengan data pemilik serta fasilitas pengecekan 3 (tiga) digit rahasia CVV2 yang hanya terdapat di bagian belakang kartu kredit dan tidak timbul (embossed).

            Tentu saja dengan keunggulan yang ditawarkan oleh penjual tersebut, para pengunjung chatroomakan mudah tergiur. Kemudian pengunjung yang tertarik, atau tepatnya calon pembeli, akan melakukan private message ke nickname penjual tersebut untuk melakukan negosiasi harga. Jika telah tercapai kesepakatan, maka si penjual tersebut akan meminta kepada si calon pembeli/korban untuk mengirimkan sejumlah uang sebagai tanda jadi atau sebagai uang muka atau sebagai ongkos kirim. Besarnya relatif, dari sekitar Rp 500 ribu (US$ 50) hingga Rp 1 juta (US$ 100).

            Jika calon pembeli sepakat, maka penjual akan bertukar alamat e-mail dan MSN Messanger atauYahoo Messanger dengan calon pembeli, guna kontak lebih lanjut dan untuk bertukar alamat domisili masing-masing. Gunanya alamat domisili tersebut adalah untuk alamat pengiriman uang dan alamat pengiriman barang. Selanjutnya, penjual akan meminta kepada calon pembeli untuk segera menghubungi dirinya melalui e-mail apabila uangnya telah dikirimkan, dengan tujuan agar dirinya bisa segera mengirimkan barang yang dipesan.

            Celakanya, setelah uang tersebut dikirimkan, barang yang dinanti tak kunjung datang. Maka si calon pembeli tersebut pun menjadi korban penipuan si penjual tersebut.

            Jika penipuan telah terjadi, posisi korban sangatlah sulit. Korban tidak dapat atau enggan melaporkan kasus penipuan tersebut kepada aparat penegak hukum karena transaksi yang dilakukannya adalah transaksi atas barang yang ilegal, sehingga tidak dapat dilindungi oleh hukum. Selain itu korban akan kesulitan mengidentifikasi penipunya, karena transaksi yang dilakukannya melalui Internet dan tanpa bukti otentik hitam di atas putih. Faktor lainnya adalah belum banyaknya pihak aparat penegak hukum yang mengetahui seluk-beluk Internet, termasuk modus operandi penipuan melalui chatroom tersebut.

            Untuk lebih meyakinkan dan membuktikan analisa di atas, dalam satu kesempatan, tepatnya pada minggu ke-4 Maret 2003, tim ICT Watch sepakat untuk benar-benar melakukan negosiasi dan transaksi dengan salah seorang penjual di chatroom #thacc pada server DALnet. Penjual yang menggunakan nickname “tuyulcarder” tersebut menawarkan sebuah notebook Sony dan sebuah ponselNokia. Melalui private message penjual tersebut mengaku dirinya saat itu sedang berada di kota Salatiga. Padahal berdasarkan analisa tim ICT Watch pada log chatroom, penjual tersebut sebenarnya menggunakan akses Internet di warnet Intersat di bilangan jalan Adisucipto - Jogja.

            Meskipun demikian, tim ICT Watch terus melakukan negosiasi melalui chatting dan dilanjutkan dengan menghubungi ponselnya. Kemudian penjual tersebut menyatakan bahwa dirinya sendiri yang akan mengantarkan barang pesanan tersebut ke Jakarta pada keesokan harinya. Kemudian dia meminta untuk ditransfer sejumlah dana ke rekeningny di Bank BCA sebagai uang muka. Maka tim ICT Watch melakukan transfer sejumlah dana melalui fasilitas KlikBCA ke rekeningnya di Bank BCA dengan 3 digit awal nomor rekening tersebut adalah “456”, dengan inisial pemilik rekening tersebut adalah “BMEH”.

            Akhirnya perkiraan tim ICT Watch terbukti, lantaran setelah dana tersebut ditransfer, barang pesanan tak kunjung diantarkan walaupun telah ditunggu hingga beberapa hari kemudian. Ponsel milik penjual tersebut pun menjadi tidak dapat dihubungi sama sekali.

Lima Fakta Menarik :

     Ada 5 (lima) fakta menarik lainnya yang berhasil ditemukan tim ICT Watch saat melakukan observasi langsung ke beberapa chatroom carder di server DALnet, yaitu:
1.                  Beberapa penjual akan meminta calon pembeli untuk melakukan transfer ke sebuah alamat tujuan di negara Rumania, Bulgaria bahkan India. Transfer tersebut selalu diminta melaluiWestern Union (WU). Para penjual akan mencoba meyakinkan calon pembeli/korban bahwa dirinya tidak akan dapat mengambil uang yang ditransfer melalui WU tanpa adanya Money Transfer Control Number (MTCN) yang dipegang oleh pengirim uang. Padahal, menurut informasi yang diperoleh ICT Watch, tidak semua negara mengharuskan para pengambil uang diWU harus menyebutkan MTCN.
2.                  Selain itu, para penjual umumnya menggunakan bahasa Inggris. Walaupun demikian, dari hasil analisa log chatroom, terdapat sejumlah kejanggalan pada percakapan yang terjadi. Misalnya, ada kesan “copy-paste” terhadap jawaban dari penjual, penjual selalu terburu-buru ingin menyelesaikan negosiasi dan terkadang ada aksen-aksen bahasa Indonesia yang terselip ditengah percakapan.
3.                  Yang menarik adalah keberadaan penjual yang menggunakan nickname asing, berbahasa Inggris serta menyebutkan alamat tujuan pengiriman uang ke Rumania, tetapi alamat Internet Protocol (IP) yang digunakannya adalah alamat IP milik Internet Service Provider (ISP)Centrin di Indonesia yaitu 202.146.226.xxx. Ada pula seorang penjual, yang lagi-lagi berbahasa Inggris, menyatakan dirinya berdomisili di Malaysia, tetapi beralamat IP milik kampus ITB - Bandung.
4.                  Kemudian ada indikasi pula bahwa modus operandi penipuan melalui chatroom ini telah menggunakan konsep “agen” ataupun “sindikat”. Pasalnya, ditemukan fakta bahwa terdapat 2 (dua) atau lebih penjual yang berbeda, dibuktikan dengan IP yang berbeda serta secara terpisah melakukan negosiasi dengan ICT Watch dalam waktu yang bersamaan, menyebutkan sebuah alamat pentransferan dana di Rumania yang sama persis. Anehnya lagi, salah seorang dari mereka menggunakan IP Centrin.
5.                  Fakta lain adalah kini ada semacam “keberanian” dari para penjual untuk bertransaksi, khususnya pada hal pentransferan dana yang sudah mulai banyak menggunakan bank dalam negeri semisal BCA, Lippo Bank ataupun Bank Mandiri. Meskipun demikian, para penjual tersebut tetap berusaha untuk mengaburkan identitas jati dirinya, dengan melakukan IP-spoofing dan/ atau menggunakan warung internet (warnet) saat melakukan aksinya.
            Berdasarkan pada temuan fakta di lapangan tersebut, maka memang benar bahwa aktifitascarding secara kuantitatif mengalami penurunan. Penurunan tersebut tidak secara otomatis menunjukkan keberhasilan dari pihak yang berwenang dalam mengatasi carding, tetapi lebih disebabkan karena adanya pergeseran modus operandi kejahatan melalui chatroom dan enggannya korban melapor ke aparat penegak hukum.


BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.         Terdapat beragam pemahaman mengenai cybercrime. Namun bila dilihat dari asal katanya, cybercrime terdiri dari dua kata, yakni “cyber” dan “crime”. Kata “cyber” merupakan singkatan dari “cyberspace”, yang berasal dari kata “cybernetics” dan “space” Istilah cyberspace muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam novel William Gibson yang berjudul Neuromancer.
b.         Karakteristik kejahatan siber adalah:
Perbuatan anti sosial yang muncul sebagai dampak negatif dari pemanfaatan teknologi informasi tanpa batas khususnya di dunia perbankan.
Memanfaatkan rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi. Salah satu rekayasa teknologi yang dimanfaatkan adalah internet.

Perbuatan tersebut merugikan dan menmbulkan ketidaktenangan di masyarakat, serta bertentangan dengan moral masyarakat
Perbuatan tersebut dapat terjadi lintas negara. Sehingga melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hokum di dunia perbankan

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1980. IT PERBANKAN Jakarta: PT. Gramedia.
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Cyber crime, Cet. 9. Jakarta:Pancoran
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai kasus perbankan dalam bidang IT Cet. 9.Jakarta: Pantjoran Tujuh.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta
Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005, hal. 3.
http://rakaraki.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar