(METODOLOGI/ANALISIS)
CYBER CRIME DI
PERBANKAN
Masalah
cyber crime dalam dunia perbankan kini kembali menjadi pusat perhatian.
Kejahatan dunia maya (Inggris : cyber crime) adalah
istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan
komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke
dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online,
pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud, penipuan
identitas, pornografi anak, dan lain-lain. Sebab muncul pola-pola baru
dari cyber crime perbankan yang bermotif ekonomi. Jika dulu
pelakunya mengincar barang-barang mahal dan langka, kini berupa uang. Meski
sudah banyak pelakucyber crime perbankan yang ditangkap dan
dijatuhi hukuman penjara, nyatanya praktik kejahatan itu masih marak dengan
cara yang beraneka. Kejahatan duniamaya sudah meresahkan masyarakat, termasuk
dunia perbankan. Kejahatan dunia maya di Indonesia sudah sangat terkenal. Terus
berkembangnya teknologi informasi (TI) juga membuat praktik cyber crime,
terutama carding, kian canggih.
Carding adalah
bentuk cyber crime yang paling kerap terjadi. Maka, tak heran jikadalam kasuscredit
card fraud, Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara kedua tertinggi
didunia setelah Ukraina. Saat ini terjadi pergeseran pola carding. Kalau
dulu mereka lebihmengincar barang-barang yang mahal dan langka, kini uang yang
dicari. Misalnya, kini marak carding untuk perdagangan saham
secara online. Pelaku carding dari Indonesia
berfungsi sebagai pihak yang membobol kartu kredit, dan hasilnya digunakan oleh
mitranya di luar negeri untuk membeli saham secara online. Keuntungan
transaksi itu kemudian di transfer ke sebuah rekening penampungan, yang
kemudian dibagi lagi ke rekening anggota sindikat.
Setelah
isu carding mereda, kini muncul bentuk kejahatan baru, yakni
pembobolan uang nasabah melalui ATM atau cracking sistem mesin
ATM untuk membobol dananya. Kepercayaan terhadap perbankan tidak hanya terkait
dengan keamanan simpanan nasabah dibank tersebut, tetapi juga terhadap keamanan
sistem dan prosedur, pemanfaatan teknologiserta sumber daya manusia dalam
memberikan pelayanan kepada nasabah. Salah satu aspek risiko yang hingga kini
belum banyak diantisipasi adalah kegagalan transaksi perbankan melalui
teknologi informasi (technology fraud) yang dalam risiko
perbankan masuk kategori sebagai risiko operasional.
Awas,
Penipuan via Chatroom !!!
Suatu
ketika, saya ditanya oleh seorang rekan saya di Asian Wall Street
Journal, “apakah benar kini tingkat aktifitas carding di Indonesia
sudah menurun?”. Carding adalah aktifitas pembelian barang di Internet
menggunakan kartu kredit bajakan. Dia bertanya lantaran informasi dan data yang
dia terima memang seperti itu. Saya sempat ragu menjawabnya, sebab untuk tahun
lalu, Indonesia berada pada posisi ke-2 teratas sebagai negara asal carder
(pelaku carding) terbanyak di dunia, setelah Ukraina. Posisi tersebut merupakan
hasil riset dari Clear Commerce Inc, sebuah perusahaan
teknologi informasi (TI) yang berbasis di Texas, AS.
Sejurus
kemudian saya mulai mengingat-ingat modus operandi para carder dan
aktifitas dichatroom pada umumnya. Lalu saya jawab ke rekan saya
tersebut, “kalau berdasarkan data statistik memang ada penurunan
aktifitas carding, tetapi tren tersebut lantaran adanya pergeseran modus
operandi,”. Saat itu, saya sendiri tidak terlalu yakin, ke arah
mana pergeseran tersebut. Saya hanya yakin bahwa aktifitas tindak kriminal
di chatroom itu seolah-olah menganut hukum kekekalan energi,
yaitu tidak akan hilang tetapi hanya berubah wujud.
Sampai
kemudian saya bersama dengan tim ICT Watch yang lain melakukan
observasi lapangan ke beberapa chatroom carder serta menganalisa arsip e-mail dan
log chatroom yang telah lama. Hasil observasi yang dilakukan
sepanjang Maret 2003 tersebut menunjukkan kenyataan bahwa memang ada pergeseran
modus operandi yang cukup signifikan dalam aktifitas ilegal di chatroom,
khususnya dalam komunitas carder.
Observasi
Lapangan
Pada
awalnya, chatroom memang sekedar sebuah media bagi para carder untuk
bertukar data kartu kredit bajakan dan berjual-beli barang hasil carding. Tetapi,
setelah banyak merchant diInternet yang enggan mengirimkan paket
mereka ke Indonesia, maka banyak carder yang mulai kesulitan melakukan carding.
Karena “kepepet” dan terbiasa mendapatkan uang secara mudah,
kemudian mereka menggeser modus operandi mereka di chatroom yaitu dengan
melakukan satu jenis penipuan yang belum banyak terungkap kasusnya di
Indonesia. Mereka “seolah-olah” ingin menjual atau melepas
barang-barang elektronik, semisal telepon selular (ponsel) ataupun notebook,
yang didapatnya dari hasil melakukan carding.
Para carder atau
penjual tersebut akan menawarkan dagangannya melalui chatroom dengan
keunggulan tertentu semisal “the package not even opened” (barang
baru dan dus belum pernah dibuka) serta “cool prizes” (harga
sangat murah dan bisa ditawar). Contohnya, sebuah notebook merek Sony
VAIO yang harga aslinya mencapai Rp 15 juta, ditawarkan hanya senilai
Rp 4 juta hingga Rp 5 juta saja. Kemudian ponsel Nokia seri
terbaru yang harga aslinya masih Rp 6 juta, ditawarkan senilai Rp 1 juta hingga
Rp 2 juta saja.
Aksi
promosi para penjual tersebut tidak pernah dilakukan di chatroom umum.
Para penjual, termasuk para penipu, melakukan aksinya di chatroom khusus
para carder. Ada banyak sekalichatroom carder, dengan
puluhan hingga ratusan pengunjung perharinya. Di dalam chatroom tersebut,
akan sangat mudah kita dapatkan beratus nomor kartu kredit bajakan, lengkap
dengan data pemilik serta fasilitas pengecekan 3 (tiga) digit rahasia CVV2 yang
hanya terdapat di bagian belakang kartu kredit dan tidak timbul (embossed).
Tentu
saja dengan keunggulan yang ditawarkan oleh penjual tersebut, para
pengunjung chatroomakan mudah tergiur. Kemudian pengunjung yang
tertarik, atau tepatnya calon pembeli, akan melakukan private message ke nickname penjual
tersebut untuk melakukan negosiasi harga. Jika telah tercapai kesepakatan, maka
si penjual tersebut akan meminta kepada si calon pembeli/korban untuk
mengirimkan sejumlah uang sebagai tanda jadi atau sebagai uang muka atau
sebagai ongkos kirim. Besarnya relatif, dari sekitar Rp 500 ribu (US$
50) hingga Rp 1 juta (US$ 100).
Jika
calon pembeli sepakat, maka penjual akan bertukar alamat e-mail dan MSN
Messanger atauYahoo Messanger dengan calon pembeli, guna
kontak lebih lanjut dan untuk bertukar alamat domisili masing-masing. Gunanya
alamat domisili tersebut adalah untuk alamat pengiriman uang dan alamat
pengiriman barang. Selanjutnya, penjual akan meminta kepada calon pembeli untuk
segera menghubungi dirinya melalui e-mail apabila uangnya
telah dikirimkan, dengan tujuan agar dirinya bisa segera mengirimkan barang
yang dipesan.
Celakanya,
setelah uang tersebut dikirimkan, barang yang dinanti tak kunjung datang. Maka
si calon pembeli tersebut pun menjadi korban penipuan si penjual tersebut.
Jika
penipuan telah terjadi, posisi korban sangatlah sulit. Korban tidak dapat atau
enggan melaporkan kasus penipuan tersebut kepada aparat penegak hukum karena
transaksi yang dilakukannya adalah transaksi atas barang yang ilegal, sehingga
tidak dapat dilindungi oleh hukum. Selain itu korban akan kesulitan
mengidentifikasi penipunya, karena transaksi yang dilakukannya melalui Internet dan
tanpa bukti otentik hitam di atas putih. Faktor lainnya adalah belum banyaknya
pihak aparat penegak hukum yang mengetahui seluk-beluk Internet, termasuk
modus operandi penipuan melalui chatroom tersebut.
Untuk
lebih meyakinkan dan membuktikan analisa di atas, dalam satu kesempatan,
tepatnya pada minggu ke-4 Maret 2003, tim ICT Watch sepakat
untuk benar-benar melakukan negosiasi dan transaksi dengan salah seorang
penjual di chatroom #thacc pada
server DALnet. Penjual yang menggunakan nickname “tuyulcarder”
tersebut menawarkan sebuah notebook Sony dan sebuah ponselNokia.
Melalui private message penjual tersebut mengaku dirinya saat
itu sedang berada di kota Salatiga. Padahal berdasarkan analisa tim ICT
Watch pada log chatroom, penjual tersebut sebenarnya
menggunakan akses Internet di warnet Intersat di
bilangan jalan Adisucipto - Jogja.
Meskipun
demikian, tim ICT Watch terus melakukan negosiasi
melalui chatting dan dilanjutkan dengan menghubungi ponselnya.
Kemudian penjual tersebut menyatakan bahwa dirinya sendiri yang akan
mengantarkan barang pesanan tersebut ke Jakarta pada keesokan harinya. Kemudian
dia meminta untuk ditransfer sejumlah dana ke rekeningny di Bank BCA sebagai
uang muka. Maka tim ICT Watch melakukan transfer sejumlah dana
melalui fasilitas KlikBCA ke rekeningnya di Bank BCA dengan 3
digit awal nomor rekening tersebut adalah “456”, dengan
inisial pemilik rekening tersebut adalah “BMEH”.
Akhirnya
perkiraan tim ICT Watch terbukti, lantaran setelah dana
tersebut ditransfer, barang pesanan tak kunjung diantarkan walaupun telah
ditunggu hingga beberapa hari kemudian. Ponsel milik penjual tersebut pun
menjadi tidak dapat dihubungi sama sekali.
Lima
Fakta Menarik :
Ada 5 (lima)
fakta menarik lainnya yang berhasil ditemukan tim ICT Watch saat
melakukan observasi langsung ke beberapa chatroom carder di
server DALnet, yaitu:
1.
Beberapa penjual akan meminta
calon pembeli untuk melakukan transfer ke sebuah alamat tujuan di negara
Rumania, Bulgaria bahkan India. Transfer tersebut selalu diminta melaluiWestern
Union (WU). Para penjual akan mencoba meyakinkan calon pembeli/korban
bahwa dirinya tidak akan dapat mengambil uang yang ditransfer melalui WU tanpa
adanya Money Transfer Control Number (MTCN) yang dipegang oleh
pengirim uang. Padahal, menurut informasi yang diperoleh ICT Watch,
tidak semua negara mengharuskan para pengambil uang diWU harus
menyebutkan MTCN.
2.
Selain itu, para penjual umumnya
menggunakan bahasa Inggris. Walaupun demikian, dari hasil analisa log
chatroom, terdapat sejumlah kejanggalan pada percakapan yang terjadi. Misalnya,
ada kesan “copy-paste” terhadap jawaban dari penjual, penjual
selalu terburu-buru ingin menyelesaikan negosiasi dan terkadang ada aksen-aksen
bahasa Indonesia yang terselip ditengah percakapan.
3.
Yang menarik adalah keberadaan
penjual yang menggunakan nickname asing, berbahasa Inggris serta menyebutkan
alamat tujuan pengiriman uang ke Rumania, tetapi alamat Internet
Protocol (IP) yang digunakannya adalah alamat IP milik Internet
Service Provider (ISP)Centrin di Indonesia yaitu 202.146.226.xxx. Ada
pula seorang penjual, yang lagi-lagi berbahasa Inggris, menyatakan dirinya
berdomisili di Malaysia, tetapi beralamat IP milik kampus ITB - Bandung.
4.
Kemudian ada indikasi pula bahwa
modus operandi penipuan melalui chatroom ini telah menggunakan
konsep “agen” ataupun “sindikat”. Pasalnya,
ditemukan fakta bahwa terdapat 2 (dua) atau lebih penjual yang berbeda,
dibuktikan dengan IP yang berbeda serta secara terpisah melakukan negosiasi
dengan ICT Watch dalam waktu yang bersamaan, menyebutkan
sebuah alamat pentransferan dana di Rumania yang sama persis. Anehnya lagi,
salah seorang dari mereka menggunakan IP Centrin.
5.
Fakta lain adalah kini ada
semacam “keberanian” dari para penjual untuk bertransaksi,
khususnya pada hal pentransferan dana yang sudah mulai banyak menggunakan bank
dalam negeri semisal BCA, Lippo Bank ataupun Bank Mandiri. Meskipun
demikian, para penjual tersebut tetap berusaha untuk mengaburkan identitas jati
dirinya, dengan melakukan IP-spoofing dan/ atau menggunakan
warung internet (warnet) saat melakukan aksinya.
Berdasarkan
pada temuan fakta di lapangan tersebut, maka memang benar bahwa aktifitascarding secara
kuantitatif mengalami penurunan. Penurunan tersebut tidak secara otomatis
menunjukkan keberhasilan dari pihak yang berwenang dalam mengatasi carding,
tetapi lebih disebabkan karena adanya pergeseran modus operandi kejahatan
melalui chatroom dan enggannya korban melapor ke aparat
penegak hukum.